Pendahuluan
Lumpur
adalah yang dihasilkan dalam instalasi pengolahan air limbah berasal dari hasil
pengendapan materi padatan (solids)
di dalam unit-unit pengolahan. Berdasarkan sumbernya, lumpur dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu primary raw sludge dan waste activated sludge (WAS).
Primary raw sludge berasal dari padatan yang diendapkan pada proses pengendapan
primer (primary sedimentation).
Sementara itu, waste activated sludge ialah flok-flok yang terbentuk dari
gabungan mikroorganisme dan sebagian polutan yang teroksidasi selama proses
aerasi, yang mengendap di dalam tangki pengendapan sekunder (secondary clarifier).
Tujuan Pengelolaan Lumpur
Lumpur yang dihasilkan dari sistem
pengolahan air limbah dibedakan atas lumpur kimia-fisika dan lumpur biologi.
Lumpur kimia-fisika berasal dari pemisahan hasil perlakuaan proses
fisika-kimia, sedangkan lumpur biologi berasal dari perlakuan biologi. Umumnya
lumpur masih memiliki kadar air yang cukup tinggi, oleh karenanya perlu
perlakuan lumpur yang merupakan bagian dari penanganan air limbah. Kedua jenis
lumpur tersebut harus dikeluarkan dan dibuang ke luar instalasi pengolahan air
limbah (IPAL), tetapi hal ini akan menimbulkan masalah bila langsung dibuang
begitu saja dalam jumlah besar ke tempat penimbunan limbah padat. Tujuan utama
pengolahan lumpur adalah mengurangi volume
lumpur dengan cara memisahkan air dari dalam lumpur sebelum dibuang, agar
mempermudah masalah pengangkutan. Untuk itu pengurangan kandungan air dan
volume lumpur merupakan hal yang penting.
Lumpur dapat menimbulkan gangguan
lingkungan yang lebih berbahaya dari air limbah mengingat bahwa:
- lumpur mengandung pencemar yang lebih terkonsentrasi
- lumpur tetap memiliki kandungan air yang tinggi
- lumpur dapat mengandung jenis pencemar baru yang tidak terkandung sebelumnya di dalam air limbah akibat dari penambahan bahan kimia dan dari peruraian senyawa yang terkandung dalam lumpur.
Lumpur yang banyak mengandung
padatan diperoleh dari hasil proses pemisahan padat-cair dari limbah yang
sering disebut dengan sludge
atau lumpur encer, di dalam sludge tersebut sebagian besar mengandung air dan
hanya beberapa persen berupa zat padat. Umumnya persentase kandungan air
tersebut dapat mencapai 95-99%. Lumpur yang dihasilkan unit pengolahan air
limbah dapat dikelola hingga menjadi abu dengan kadar 0,3 % dengan melalui
beberapa tahap pengolahan yang meliputi proses pemekatan dengan proses
thickening, proses dewatering, proses pengering dan
pembakaran. Filtrat yang dihasilkan dari proses pemekatan dan dewatering
dikembalikan ke unit equalisasi (IPAL) untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut.
Untuk dapat mengelola lumpur secara
efektif dan tepat, maka perlu mengetahui karakteristik lumpur tersebut.
Karakteristik lumpur tergantung pada sumber lumpur dan jenis industri
penghasil air limbah serta sistem pengolahan IPAL. Peraturan Pemerintah No. 85
Tahun 1999 memuat daftar dari berbagai jenis industri yang menghasilkan lumpur
IPAL yang dianggap sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Karakteristik dan Jumlah Lumpur
Karakteristik lumpur sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sumber lumpur, jenis industri
penghasil air limbah, proses di IPAL, sifat fisik, komposisi kimia serta
tingkat pengolahan yang telah ditentukan. Karakteristik lumpur sangat berbeda
untuk setiap jenis lumpur, sehingga prinsip penanganannya berbeda pula.
Walaupun demikian, kebanyakan industri melakukan penanganan lumpur yang keluar
dari IPAL dalam unit pengolah yang sama. Sebagai contoh lumpur dari industri
pulp dan kertas pada umumnya tersusun dari zat berserat, hidro-gel, fines yang
non hydrous terutama yang berasal dari bahan pengisi (filler) dan tentunya juga air aliran, air kapiler, air adsorpsi dan air
sel.
Air aliran pada lumpur dapat
dihilangkan dengan cara pengentalan, sedangkan air kapiler dihilangkan dengan
cara mekanis. Untuk jenis air yang lainnya penghilangannya dilakukan dengan
metode thermal. Lumpur yang dihasilkan oleh suatu IPAL dapat dikelompokan
dalam 2 jenis, yaitu:
- Lumpur kimia-fisika (lumpur mineral)
- Lumpur biologi
Selain ke dua jenis lumpur tersebut
diatas ada juga lumpur yang berupa fiber berasal dari proses produksi, pada
umumnya di industri tekstil.
Lumpur Kimia-Fisika (Lumpur Mineral)
Lumpur kimia-fisika merupakan lumpur
yang dihasilkan dari proses pemisahan padatan di unit-unit pengolahan secara
fisika-kimia Karakteristik lumpur adalah sebagai berikut:
- Mempunyai warna sesuai dengan jenis senyawa kimia yang digunakan
- Mempunyai kandungan padatan 2-8%,
- Mempunyai berat jenis yang lebih besar dari lumpur biologi.
Jumlah lumpur kimia – fisika yang dihasilkan tergantung dari:
- Beban hidrolik dari unit pengolahan penghasil Lumpur
- Efektifitas koagulan dan flokulan yang digunakan
- Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan
- Efisiensi tanki pengendap
Pemisahan air pada lumpur
kimia-fisika lebih mudah dilakukan dengan cara seperti pengentalan yang diikuti
penyaringan.
Lumpur Biologi
Lumpur biologi merupakan lumpur yang
dihasilkan dari proses pemisahan gumpalan mikroba di unit pengolahan biologi.
Lumpur biologi berasal dari dua bagian yaitu :
- Mikroba yang mati
- Organik yang tidak terdegradasi oleh mikroba
Karakteristik lumpur biologi adalah sebagai berikut:
- Mempunyai warna coklat
- Mempunyai kandungan padatan 0,5-2,5% yang artinya dalam 1 liter lumpur mengandung air sebanyak 97,5-99,5%
- Mempunyai berat jenis yang rendah, sebesar 1,005 g/mL
- Mengandung banyak senyawa organik terurai yang mudah membusuk
Jumlah lumpur biologi yang dihasilkan tergantung dari:
- Beban hidrolis dari unit pengolahan penghasil lumpur dan beban organik.
- Kecepatan pertumbuhan mikroba yang sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi proses biologi dan kondisi lingkungan
- Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan
- Efisiensi tanki pengendap
Perlakuan lumpur pada dasarnya
berupa pengurangan volume dan meningkatkan kestabilan sifat lumpur menjadi
lebih baik, agar penanganan selanjutnya tidak menimbulkan permasalahan
lingkungan.
Proses Pengolahan Lumpur
Sasaran upaya
penanganan lumpur adalah menghasilkan lumpur dengan kandungan padatan
setinggi-tingginya, atau volume yang sekecil-kecilnya dan stabil serta tidak
memiliki dampak lingkungan yang lebih buruk. Peningkatan kandungan padatan (%SS) atau pengurangan kadar air dapat
dilakukan melalui beberapa cara. Umumnya upaya pengelolaan terhadap lumpur
meliputi tahap-tahap pengerjaan:
- Pengentalan atau pemekatan lumpur (sludge thickening)
- Stabilisasi lumpur (sludge stabilization)
- Pengeluaran air (sludge dewatering)
- Pengeringan lumpur (sludge drying)
Masing-masing cara memiliki
kelebihan dan kelemahannya, sehingga tidak ada satu carapun yang dapat
diterapkan untuk setiap jenis lumpur tertentu. Kecuali Tahap Stabilisasi,
seluruh tahapan lainnya lebih bertujuan untuk meningkatkan kandungan padatan
atau pengurangan kandungan air. Setelah melalui tahapan tersebut tahapan
berikutnya adalah Tahap Pembuangan Akhir.
Umumnya persentase kandungan air
tersebut dapat mencapai 95-99%. Lumpur yang dihasilkan unit pengolahan air
limbah dapat diubah menjadi abu dengan kadar 0,3 %. Hal ini dapat dilakukan
melalui beberapa tahap pengolahan yang meliputi proses pemekatan dapat
mengurangi volume dari 100 % dengan proses thickening menjadi 50 %, proses
dewatering menjadi 5 %, proses pengering menjadi 1,44 %, kemudian dilakukan
pembakaran sehingga dihasilkan abu dengan kadar 0,3 %. Filtrat yang dihasilkan
dari proses pemekatan dan dewatering dikembalikan ke unit equalisasi (IPAL)
untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut.
Pengentalan Lumpur (Sludge Thickening)
Proses pengentalan lumpur bertujuan
untuk meningkatkan kekentalan atau kandungan padatan dalam lumpur dengan cara
pengeluaran air. Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari unit pengolahan air
limbah masih encer dengan kandungan padatan antara 0,5-1,0% atau kandungan air
99,5-99%, sehingga perlu dipekatkan secara gravitasi hingga 2-3% atau kandungan
air 97-98% dengan menggunakan thickener. Pada proses pengentalan tersebut
lumpur sebelumnya perlu dikondisikan dengan cara fisika maupun fisika-kimia,
agar dapat menggumpal sehingga air lebih mudah dipisahkan.
Pemisahan air dari lumpur
kimia-fisika lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan lumpur biologi. Hal ini
disebabkan air yang terkandung dalam lumpur biologi adalah hasil perlakuan
biologi yang 80% merupakan air sel bakteri. Konsentrasi lumpur sangat
mempengaruhi kinerja alat pengeluaran air dan kandungan air dalam lumpur
pekat (cake). Seperti yang ditunjukkan pada gambar 9.3. bahwa makin tinggi
kandungan padatan dalam lumpur maka makin rendah kadar air dalam lumpur pekat
(cake).
A. Pengentalan Lumpur secara
Gravitasi
Pengentalan lumpur secara gravitasi
adalah salah satu metode yang umum digunakan. Unit pengental gravitasi bekerja
dengan gaya gravitasi seperti halnya dengan tangki pengendap lainnya. Prinsip
dasar dan bentuk unit ini juga menyerupai tangki pengendap yang biasa,
perbedaannya hanya pada nilai beban permukaan yang lebih rendah. Alat ini
berbentuk tangki bundar dilengkapi dengan penggaruk lumpur, seperti yang
terlihat pada gambar 9.4. adalah salah satu contoh alat thickener. Pada umumnya
diameter tanki tidak lebih dari 25 m dengan kedalaman sekitar 4 m, dengan
maksimum hydraulic overflow rate antara 15,5-31 m3/m2,
hari untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur biologi antara 4-8 m3/m2,
hari, begitu pula untuk lumpur campuran kimia-fisika dengan biologi sekitar
6-12 m3/m2, hari.
Dari data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa dengan alat ini kepekatan lumpur kimia-fisika dapat mencapai
kadar padatan kering 5-10% atau kandungan air 90-95%, sedangkan untuk
lumpur biologi hanya mencapai kadar padatan kering antara 2-3% kandungan air
antara 97-98%. Hasil pengentalan yang diperoleh untuk lumpur campuran dari
lumpur kimia – fisika dan lumpur biologi mencapai kepekatan dengan kadar
padatan kering 2-8% atau kandungan air 92-98%,. Unit pengental gravitasi
umumnya digunakan sebagai unit pertama di dalam bagian penanganan lumpur.
Kelebihan dengan cara ini
adalah mudah dalam pengoperasian dan perawatan (maintenance). Kelemahan dengan
cara ini adalah seringkali timbul lumpur yang naik ke atas (sludge floating)
akibat dari terlalu lama lumpur berada dalam bak lumpur karena tidak cepat
dikeluarkan. Hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerobik sehingga menghasilkan
gas. Gas tersebut akan membawa sekelompok lumpur ke permukaan. Ciri-ciri lumpur
tersebut adalah berbau dan berwarna hitam.
B. Pemekatan Lumpur secara
Flotasi (Floating Thickening)
Prinsip kerja sama dengan proses
flotasi untuk pengolahan air limbah. Alat penggaruk lumpur terdapat di sebelah
atas maupun di bagian bawah. Dibandingkan dengan pemekatan lumpur secara
gravitasi, alat ini lebih sukar pengoperasiannya dan diperlukan pula penambahan
bahan kimia polimer untuk meningkatkan konsentarasi lumpur dari 85% menjadi
98%. Dengan terkonsentrasinya lumpur dapat meningkatkan efisiensi alat.
Pemakaian bahan kimia polimer untuk memekatkan lumpur biologi sekitar 2-5 kg
berat kering polimer/ mg zatpadat. Penggunaan rasio udara-padatan sangat
mempengaruhi kinerja sistem ini, pada umumnya nilai rasio udara-padatan
bervariasi, maksimum pada kisaran dari 2-4% untuk mengapungkan zat padat.
Hasil pemekatan dengan sistem
ini mencapai kadar padatan kering antara 4-6% atau kandungan air 94-96%
untuk lumpur biologi dengan penambahan bahan kimia polimer, sedangkan tanpa
penambahan bahan kimia polimer kadar padatan kering hanya mencapai 3-5% atau
kandungan air 95-97%. Kelebihan cara ini adalah waktu tinggal jauh lebih
singkat yaitu sekitar 15 – 30 menit dan hasil lumpur lebih pekat, sehingga
volume lumpur lebih sedikit. Kelemahan cara ini adalah cara pengoperasian lebih
sulit, biaya operasional tinggi, karena ada penambahan bahan kimia, biaya
perawatan relatif tinggi dan penggunaan listrik cukup besar. Sistem penyapuan
lumpur (scrapper) menggunakan rantai sering bermasalah karena terdapat bagian
yang bergesekan. Permasalahan scrapper dapat diatasi dengan mengganti rantai
penggerak secara periodik.
Tabel
Perbandingan Metode Pemekatan Lumpur
Metode
PemekatanBagian
|
Pemekatan secara gravitasi
|
Pemekatan secara mekanis
|
||
Tipe Dekantasi
|
Tipe Penyaringan
|
|||
Model
|
Pemekatan
dengan pengendapan secara gravitasi
|
Pemekatan
secara sentrifugal
|
Pemekatan
dengan penyaringan dan granulasi
|
|
Efisien
|
Pemekatan
lumpur
|
1,5 – 2,5
%
|
4 % atau
lebih
|
2 – 5 %
|
Pemisahan
cairannya
|
Tidak
stabil
|
stabil
|
Stabil
|
|
Oprasional
Manajemen
|
Pemakaian
energi termasuk (auxiliary machine )
|
KecilKira
– kira 0,1 kWh / m3
|
Menengah (
medium )Kira – kira 0,6 kWh / m3
|
KecilKira
– kira 0,2 kWh / m3
|
Parameter
operasi dan operasionality
|
|
|||
Oprasional
Lingkungan
|
|
Stabilisasi Lumpur (sludge stabilization)
Stabilisasi lumpur merupakan upaya
mengurangi kandungan senyawa organik dalam lumpur atau mencegah aktivitas
mikroorganisme. Tujuan stabilisasi lumpur adalah agar lumpur menjadi stabil dan
tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun
saat pembuangan ke lingkungan. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Digestasi
anaerobik
Proses ini merupakan suatu proses
degradasi senyawa organik dalam lumpur secara anaerobik. Stabilisasi ini
biasanya hanya untuk lumpur biologi dan dilakukan sebelum proses pengeluaran
air dari lumpur. Dengan proses digestasi ini, sekitar 50% senyawa organik dalam
lumpur dapat diubah menjadi gas bio yang tersusun dari metan (CH4)
dan CO2 apabila di dalam senyawa organik tersebut terdapat kandungan
sulfur, maka dihasilkan H2S. Produk gas bio ini sangat potensial
untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan lumpur sisa yang diperoleh
bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Digestasi lumpur dilakukan dalam tangki
tertutup dengan sistem pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem
pengadukan. Waktu retensi yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban
padatan antara 2-4 kg/m3. Hasil pemekatan dengan sistem
ini mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau kandungan air 95-98%
untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi
kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air
96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume lumpur dengan
penguraian dalam artian pengurangan lumpur diubah menjadi gas yang dapat
dimanfaatkan sebagai energi panas. Kelemahan dari sistem ini adalah cara pengoperasiannya
agak sulit.
2.
Stabilisasi aerobik
Pada prinsipnya proses ini sama
seperti proses lumpur aktif pada pengolahan air limbah, yaitu degradasi senyawa
organik dalam lumpur terjadi secara aerobik. Proses stabilisasi aerobik dapat
dilakukan dalam suatu tanki terbuka, sebelum ataupun setelah dilakukan proses
pengeluaran air dari dalam lumpur. Metode stabilisasi aerobik lumpur yang sudah
mengalami proses pengeluaran air merupakan bentuk pengomposan yang banyak
dilakukan di industri.
Proses stabilisasi dilakukan dengan
beban padatan berkisar antara 1,6-4,8 kg/m3,jam dengan waktu retensi 10-15
hari. Udara dimasukkan ke dalam tanki untuk mensuplai oksigen, sehingga kadar
oksigen terlarut dapat diperhatikan minimal 1-2 mg/L. Dengan pengaturan pH,
kelembaban suhu dan penambahan nutrisi yang sesuai, maka lumpur hasil proses
stabilisasi dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Hasil pemekatan dengan
sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2,5-7% atau kandungan air
93-97,5% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran
kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan
air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah lebih mudah dalam pengoperasian
dan mudah dalam pengontrolan. Kelemahan dari sistem ini adalah banyak membutuhkan
energi, yaitu energi listrik untuk pembangkit oksigen.
3.
Stabilisasi dengan kapur
Penambahan kapur ke dalam lumpur
mengakibatkan aktifitas mikroorganisme terhenti, tetapi tidak mempengaruhi
kandungan senyawa organik dalam lumpur. Proses stabilisasi ini umumnya
dilakukan untuk mengatasi masalah bau yang timbul. Untuk menjamin lumpur tetap
stabil, maka pH lumpur harus dipertahankan di atas pH 11,8. Metoda stabilisasi
ini perlu pengawasan pH dan juga perlakuan pencampuran bahan kimia kapur dengan
lumpur secara baik agar pH lumpur homogen. Hasil pemekatan dengan sistem
ini mencapai kadar padatan kering antara 3-6% atau kandungan air 94-97%
untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi
kadar padatan kering hanya mencapai 1-1,5% atau kandungan air
98,5-99%. Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian mudah dan biaya
operasional relatif rendah. Kelemahan sistem ini adalah tidak terjadi
pengurangan kandungan air atau volume lumpur. Pada pengoperasian sistem ini
sering terjadi perubahan nilai pH sehingga perlu dipantau terus menerus.
Pengeluaran air dari lumpur (sludge dewatering)
Tujuan proses pengeluaran air lumpur
ialah menghilangkan sebanyak mungkin air yang terkandung dalam lumpur setelah
proses pengentalan. Persyaratan kadar padatan kering lumpur yang diinginkan
tergantung pada penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya berkisar 30%.
Proses pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
menggunakan alat:
- Belt press
- Filter press
- Screw press
- Drying bed
- Centrifugal
- Rotary drum vacuum filter
A. Belt Press
Proses pengeluaran air lumpur yang
digunakan di industri antara lain belt filter press. Tipe alat ini banyak
digunakan di industri pulp dan kertas. Pengeluaran air dari lumpur yang dapat
dilakukan dengan alat ini melalui 2 tahapan, :
1. Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone)
Pada daerah ini lumpur mengalir dan
tersebar secara merata di atas lembaran wire. Pengeluaran air dilakukan tanpa
tekanan, hanya mengandalkan gravitasi sampai mencapai kadar padatan tertentu,
selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan.
2. Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone)
Air keluar dari lumpur dengan cara
dijepit di antara dua belt atau wire sambil ditekan oleh rol secara bertahap di
daerah pressing zone, dengan tekanan meningkat sejalan dengan mengecilnya rol.
Pada saat dijepit, air diperas ke luar sampai akhir daerah bertekanan, yang
selanjutnya memasuki daerah pengelupasan lumpur dari belt atau wire (share
zone). Sebelum difungsikan kembali di daerah pengeluaran air, belt atau wire
perlu dicuci dahulu. Umumnya kadar padatan kering yang bisa dicapai antara
30-40% atau kandungan air 60-70%, untuk lumpur kimia-fisika dan 22-30% atau
kandungan air 70-78%, untuk lumpur biologi. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan
polimer perlu dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air.
Alat pengering lumpur dirancang
untuk beban 150-300 kg padatan kering/m lebar wire per jam untuk lumpur yang
sulit dipisahkan airnya, sedangkan untuk lumpur yang mudah dipisahkan airnya
250-500 kg padatan kering/m lebar wire/jam. Belt penjepit baik bagian atas
maupun bawah, setelah melepaskan lumpur, perlu dicuci, sebelum difungsikan
kembali di daerah pengeluaran air. Kelebihan alat ini adalah kapasitas olah
yang besar dan kandungan padatan kering yang relatif tinggi. Kelemahan yaitu
membutuhkan biaya operasional yang relatif tinggi karena penggunaan bahan kimia
polielektrolit yang tinggi dan kebutuhan energi listrik yang besar. Disamping
itu maintenance membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan operasional lebih sulit
karena permasalahan di belt/wire dan tracking sistem (alat pengarah belt/wire).
B. Filter Press
Prinsip kerja sistem ini adalah
memberi tekanan pada lumpur yang berada di antara lempengan-lempengan filter
(filter plate). Tekanan diberikan melalui gaya hidrolik di kedua sisi
lempengan. Filter ini tersusun dari plate and frame filter berjumlah
banyak, dimana bagian dalam dari frame tersebut ditarik oleh filter kain
yang bersambungan. Setelah frame terkunci karena tekanan hidrolik atau tekanan
tangan, lumpur akan tertekan masuk dari tabung suplai ke dalam ruang filtrasi.
Air yang tersaring karena tekanan itu akan jatuh dari frame, lumpur akan
mengental karena kehilangan air dan tersiasa di bagian dalam. Penambahan tekanan
berkisar antara 1-10 kgf/cm2, tetapi karena resistan tekanan yang
masuk bertambah besar, maka akan terbentuk cukup adonan di bagian dalam.
Apabila sudah terjadi kondisi seperti ini maka pengisian lumpur
dihentikan. Tipe alat penyaring tekanan ini umumnya digunakan di industri
kecil, antara lain seperti industri tekstil. Kelebihan dari sistem ini adalah
sederhana dalam konstruksi dan biaya operasional yang relatif lebih rendah.
Kelemahan adalah hanya dapat digunakan untuk penanganan lumpur yang sedikit.
C. Drying Bed
Salah satu metode paling sederhana
adalah drying bed atau bak pengering lumpur. Pengeluaran air lumpur dilakukan
melalui media pengering secara gravitasi dan penguapan sinar matahari. Lumpur
yang berasal dari pengolahan air limbah secara langsung tanpa proses pemekatan
terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed. Deskripsi bak
pengering berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20 cm dan
batu kerikil sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring
(filtrat) di bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak pengering dibuat saluran
atau pipa pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan kerikil (diameter 10-30
mmÆ) setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5 mmÆ) setebal 20-30 cm. Media
penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar untuk ditembus air. Pasir,
ijuk dan kerikil merupakan media penyaring yang sering digunakan.
Pengisian lumpur ke bak pengering
sebaiknya dilakukan 1 kali sehari dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm.
Mengingat keterbatasan daya tembus panas matahari, maka kedalaman bak ikurang
dari 50 cm. Jika lumpur masuk terlalu banyak, permukaan lumpur tampak mengering
tetapi lapisan bawah masih basah, sehingga pengurangan air perlu waktu
berhari-hari. Jika saringan tersumbat maka air tidak dapat keluar, sehingga
pengurangan kadar air tidak terjadi.
Pengurangan kandungan air dalam
lumpur menggunakan sistem pengeringan alami dengan matahari, maka air akan
keluar melalui saringan dan penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui
saringan berjalan lancar dan kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika
bahan penyaring (pasir) tersumbat maka proses pengurangan air hanya tergantung
kecepatan penguapan. Kecepatan pengurangan air pada bak pengering lumpur
seperti ini bergantung pada penguapan dan penyaringan, dan akan sangat
dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar
matahari, hujan, ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk
dan struktur kolam pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari.
Kelebihan sistem ini adalah
pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya operasional relatif rendah
dan hasil olahan lumpur bisa kering atau kandungan padatan yang tinggi.
Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan sangat tergantung
cuaca.
D. Screw Press
Screw press seperti terlihat di
Gambar 9.10 menghasilkan lumpur kering (cake) dengan kadar padatan kering 30 –
70% atau kandungan air 30-70%. Apabila lumpur yang akan diolah berasal
dari campuran lumpur kimia-fisika dengan lumpur biologi, maka perlu ditambahkan
koagulan polimer atau polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya berasal
dari lumpur kimia-fisika tanpa penambahan koagulan polimer atau polielektrolit
(PE), dengan pemakaian umumnya sekitar 1-2 ppm.
Besarnya tekanan yang dihasilkan
tergantung dari pengaturan perbedaan jarak antara puncak ulir tekan sepanjang
poros dengan kekuatan tekan flange penahan yang ditentukan oleh kondisi dan
jumlah pegas yang digunakan
Alat screw press sangat hemat
energi. Penggunaan alat screw press makin banyak diterapkan di industri
khususnya industri pulp dan kertas.
E. Centrifugal
Pada prinsipnya alat ini memisahkan
padatan dalam lumpur dari cairan melalui proses sedimentasi dan sentrifugasi.
Adabeberapa tipe sentrifugasi tetapi yang umum digunakan adalah tabung
horizontal berbentuk kerucut-silindris yang di dalamnya dilengkapi juga dengan
screw conveyor yang dapat berputar.Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih
lambat dibandingkan dengan putaran tabung horizontal.
Lumpur masuk melalui suatu tabung
yang tak bergerak terletak sepanjang garis pusat tabung, kemudian didorong
keluar oleh conveyor dan didistribusikan ke bagian sisi tabung. Lumpur
mengendap dan dipadatkan oleh adanya kekuatan centrifugasi, kemudian dibawa
oleh conveyor ke daerah pengeringan dalam tabung di bagian yang runcing,
cairannya yang telah terpisah dikeluarkan di bagian yang lainnya. Pada sistem
ini padatan kering mencapai sampai 50% atau kandungan air 50%. Pengkondisian
lumpur dengan menambahkan koagulan polimer adalah untuk mempercepat dan
mempermudah pengeluaran air. Pemakaian koagulan polimer antara 2 – 6 kg/ton
padatan lumpur kering.
Biaya investasi dan operasi alat
sentrifugal mahal, karena diperlukan bahan kimia pengkondisi dan konsumsi
energi listrik yang tinggi. Biaya pemeliharaannya juga tinggi jika dibandingkan
dengan alat yang lain
.
F. Rotary Drum Vacuum Filter
Penyaringan terjadi pada permukaan
drum yang berputar. Drum berputar ini dibagi dalam beberapa bagian yang masing
– masing berada di bawah tekanan vakum. Sekitar 20 – 40% bagian drum akan
terendam lumpur dan mengambil zat padat membentuk padatan lumpur yang menempel
di permukaan karena diserap pompa vakum. Sebelum bagian drum dengan padatan
lumpur yang menempel terendam kembali, padatan tersebut akan terlepas setelah
dicuci. Lumpur kimia-fisika dapat dikeluarkan airnya sampai mencapai
padatan kering sebesar 7-9% atau kandungan air 91-93% tanpa perlu dikondisikan
dahulu dengan bahan kimia.
Lumpur biologi mencapai padatan
kering sebesar 4-9% atau kandungan air 91-96%, sedangkan
lumpur campuran mencapai padatan kering sebesar 5-9% atau kandungan air 91-95%.
Beban lumpur kimia – fisika umumnya 30 kg padatan kering /m2 jam,
sedangkan untuk lumpur biologi atau lumpur campuran bebannya lebih kecil yaitu
10 -20 kg padatan kering/m2jam dengan hasil padatan kering sekitar
15% dan sebelumnya perlu dikondisikan terlebih dahulu. Kelebihan dari cara
ini adalah kapasitas pengolahan yang besar. Kelemahannya adalah pencapaian
padatan kering yang masih rendah dan alat ini lebih cocok digunakan untuk
lumpur yang berserat.
Tabel
Perbandingan Beberapa Cara Alat Pemekat Lumpur
Pemekat Sentrifugal
|
Pemekat Bertekanan
|
Saringan Beltpress
|
Pemekat
Multi Disc
|
Pemekat
Screw Press
|
|
Struktur
dan Prinsip
|
Lumpur
dipekatkan dan dikonsentrasikan dalam drum dengan putaran cepat dan tekanan
sentrifugal yang terbentuk sekitar 1000-3000G. Lumpur pekat dibuang dengan
screw berputar
|
Tekanan
yang digunakan sekitar 400-500 kPa dengan perbedaan tekanan antara dua
permukaan kain saringan dan air yang dibuang. Akhirnya, lumpur ditekan dan
diturunkan kadar airnya
|
Lumpur
dipekatkan dalam belt (kain saring) secara gravitasi, selanjutnya disaring
diantara dua kain saringan dan ditekan secara bertahap pada bagian atas dan
bawah rol. Akhirnya lumpur ditekan secara kuat dan dikurangi kadar airnya
|
Dengan
memutar sejumlah piringan yang terpasang di bagian atas dan bawah pada
kecepatan lambat, penghilangan air dilakukan dengan phenomenon kapiler
revitalisasi consecutive
|
Penyaringan
secara gravitasi terjadi di bagian luar drum pada setengah operasi. Tahap
awal penghilangan air dilakukan dengan tekanan
|
Hal-hal
yang timbul dalam operasional
|
-
Kecepatan injeksi bahan kimia- Pemilihan bahan kimia- Perbedaan jumlah
putaran antara ball dan screw
- Pengaturan tinggi luapan air yang akan dipisahkan
|
-
Kecepatan injeksi bahan kimia- Pemilihan bahan kimia- Pengaturan tekanan
- Waktu penekanan
- Pemilihan kain saring
|
-
Kecepatan injeksi bahan kimia- Pemilihan bahan kimia- Pengaturan ketebalan
kain saring
- Pemilihan kain saring
- Kecepatan saring dari kain saring
|
-
Kecepatan injeksi bahan kimia- Pemilihan bahan kimia- Perubahan jumlah
peralatan saring di dalam dan luar
|
-
Kecepatan injeksi bahan kimia- Pemilihan bahan kimia- Penyediaan lumpur yang
berlanjut
- Jumlah screw
|
Kandungan
air di cake
|
50%
|
70-80%
|
60-70%
|
50-70%
|
50-70%
|
Kondisi
dan kecepatan injeksi
|
Injeksikan
molekul pengkodisi tinggi pada 0,5-2,5% per unit SS
|
FeCl3digunakan
bersamaan. Injeksikan molekul pengkodisi tinggi pada 0,5-1,0% per unit SS
|
Injeksikan
molekul pengkodisi tinggi pada 1,0-2,0% per unit SS
|
Injeksikan
molekul pengkodisi tinggi pada 1,0-2,0% per unit SS
|
Injeksikan
molekul pengkodisi tinggi pada 1,0-2,0% per unit SS
|
Pembuangan Akhir (Sludge
Landfilling)
Pada tahap akhir, lumpur dibuang ke
lingkungan dengan aman dan tidak menimbulkan dampak negatif lingkungan.
Pembuangan langsung ke lingkungan dapat menimbulkan dampak lingkungan dan
kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sludge landfilling merupakan
tahap akhir dari pengelolaan lumpur. Pemerintah Republik Indonesia memiliki
peraturan tentang pembuangan lumpur B3 yang sangat ketat dengan sangsi yang
berat. Pengelompokan Lumpur B3 antara lain dilakukan berdasarkan:
- jenis senyawa kimia yang dikandungnya (sumber tidak spesifik)
- jenis industri penghasil lumpur (sumber tidak spesifik)
Pembuangan akhir limbah lumpur B3
harus dilakukan di lokasi yang ditunjuk oleh pemerintah. Pihak industri dapat
membuat fasilitas khusus, walaupun persyaratan dan prosedur rumit. Lokasi
pembuangan akhir limbah padat atau landfill merupakan lokasi khusus yang
diperuntukkan sebagai tempat penimbunan lumpur dengan desain yang dilengkapi
sistem tempat pengumpulan dan pengolahan lindi. Syarat-syarat lokasi penimbunan
cake menurut persyaratan landfill yang baik adalah:
Lokasi Landfill (Kep-01/Bapedal/09/1999)
- Daerah yang bebas dari banjir seratus tahunan
- Bukan kawasan lindung
- Sesuai Rencana Tata Ruang (RTR) ditetapkan sebagai lokasi baik untuk peruntukan industri atau tempat penimbunan limbah, merupakan tanah kosong yang tidak subur, tanah pertanian yang kurang subur atau lokasi bekas pertambangan yang telah tidak berpotensi
- Nilai permeabilitas Max 10-7 cm/det
- Secara geologi dinyatakan aman-stabil tidak rawan bencana
- Bukan daerah resapan air tanah tidak tertekan
- Bukan daerah genangan air, berjarak 500 m dari aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun, danau, waduk untuk irigasi pertanian dan air bersih
Program pemantauan Landfill yang perlu diperhatikan:
- Lindi (Leachate) yang dihasilkan dari limbah
- Jumlah kebocoran lindi yang melewati lapisan landfill
- Migrasi gas yang melewati lapisan landfill
- Kualitas air tanah sekitar lokasi landfill
- Karakteristik gas dalam limbah ( tekanan, suhu, kandungan gas metan)
- Gas dalam tanah dan atmosfer disekitar lokasi landfill
- Jumlah dan kualitas lindi dalam tanki pengumpul lindi.
Tabel
Program Pemantauan terhadap Lingkungan
No
|
Lokasi
|
Parameter
|
Frekuensi Pemantauan
|
1.
|
Air Tanah
|
Kualitas
air tanahVOCs
|
Bulanan-Kuartal-triwulanSetiap
tahun
|
2.
|
Kinerja
Lapisan (Liner Performance) :
|
Kuantitas
dan kualitas
Kunduktifitas
|
Kuartal
Kuartal
|
3.
|
Gas
Landfill :
|
Tekanan
statis, aliran, suhu, konsentrasi gas metan
Tekanan statis, aliran, suhu, konsentrasi gas metan
Tekanan statis, aliran, suhu, konsentrasi gas metan
Tekanan, konsentrasi gas yang dapat terbakar
Kuantitas dan kualitas
|
Mingguan
Mingguan
Harian
Bulanan
Bulanan
|
4.
|
Lindi
(Leachate) Landfill
|
Kuantitas
dan kualitas
Pelampung
Kuantitas dan kualitas
Sedimen
|
Bulanan
Kontinyu
Kontinyu untuk kuantitas dan bulan untuk kualitas
Satu tahun sekali
|
5.
|
Air
Pemukaan
|
FlowKualitas
|
KontinyuTriwulan
|
6.
|
Kondisi
Iklim
|
Kecepatan
angina, suhu, tekanan barometric
|
Kontinyu
|
7.
|
Pemulihan
Lokasi (Pasca Landfill)
|
Erosi,
resapan permukaan, air tanah, cracking ponding
Resapan permukaan
|
Kontinyu
Kontinyu
|
NB : Ini bahan Tugas yang saya kerjakan ,
SEMOGA BERMANFAAT :)
Permisi, kalau boleh tau ini sumbernya darimana ya, apakah ada buku atau jurnalnya? Saya ingin menggunkana artikel ini untuk refrensi dalam penelitian saya. Terimakasih sebelumnya.
BalasHapusMenjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment ,STP, nutrisi, bakteri dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di(081310849918) email tommy.transcal@gmail.com
BalasHapusterimakasih ilmunya
BalasHapusada yang pdf gak mas?
BalasHapusmohon izin bertanya.
BalasHapussumber yang anda tulis darimana ya? masukkan buat postingan seperti ini harus ada sumber yang jelas mengenai artikel seperti ini.
Terima kasih
Sangat membantu..terima kasih
BalasHapusMANTAP SEKALI NGAB
BalasHapusTerima Kasih :)
BalasHapus